Senin,
29 Oktober 2018 menjadi hari yang menggemparkan bagi masyarakat Indonesia.
pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT610 tujuan bandara Depati Amir,
Pangkal Pinang dilaporkan hilang kontak pada pukul 06.33 WIB tak lama setelah
lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Sejumlah personel gabungan
pun langsung diterjunkan guna mencari keberadaan pesawat tersebut. Setelah
melakukan pencarian secara intensif, pesawat tersebut ditemukan jatuh di
perairan Karawang, Laut Jawa. Tidak ada satu pun penumpang maupun awak kabin
yang selamat pada kejadian tersebut.
            5
bulan kemudian, tepatnya pada 10 Maret 2019, kecelakaan pesawat kembali
terjadi. Kali ini pesawat Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan ET302
dengan tujuan Nairobi, Kenya jatuh setelah 6 menit lepas landas dari bandara di
Addis Ababa, Etiopia. Seluruh penumpang dan awak kabin dinyatakan meninggal
pada kecelakaan tersebut.
            Kedua
kecelakaan fatal ini sontak menggegerkan dunia. Terlebih ketika ditemukan fakta
bahwa keduanya terjadi dengan menggunakan jenis pesawat yang sama, yakni Boeing
737 MAX 8 atau biasa disebut B737 MAX8. Sejumlah pertanyaan pun menyeruak
terkait keamanan pesawat generasi terbaru dari keluarga Boeing 737 tersebut.
Mengapa dapat terjadi 2 kecelakaan fatal pada waktu berdekatan dengan jenis
pesawat yang sama? Apa yang sebenarnya terjadi dengan B737 MAX? mari kita
bahas.
1.      Awal Segalanya
Boeing 737-100
(generasi pertama)
Untuk dapat
mengetahui penyebab jatuhnya B737 MAX8, maka kita harus melihat kembali sejarah
dari keluarga pesawat B737. Pesawat B737 sendiri merupakan pesawat berbadan
kecil produksi perusahaan asal Amerika Serikat, Boeing. Pesawat ini pertama
kali diproduksi tahun 1966 dan hingga kini terus dikembangkan dan diproduksi
dengan seri B737 MAX sebagai generasi terbarunya.
Keluarga B737
memiliki desain yang berbeda dibanding pesawat lainnya. B737 memiliki roda
pendaratan yang lebih pendek sehingga pesawat menjadi lebih rendah/ceper.
Desain ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan dan kesiapan bandara pada masa itu.
Perbandingan
pesawat pada umumnya (kiri) dengan B737 (kanan)
Selain itu, B737
juga memiliki bentuk mesin yang berbeda. Sebagian besar pesawat di dunia
memiliki bentuk mesin bulat sempurna, sedangkan B737 memiliki mesin berbentuk
bulat dengan bagian bawah yang datar sehingga mirip bentuk huruf D. Desain ini
dipilih untuk memenuhi batas minimal ground clearance (jarak antara
mesin pesawat dengan daratan) yang mana sulit dicapai jika mesin berbentuk
bulat mengingat badan pesawat yang ceper. 
2.      B737 vs A320
Seiring
berjalannya waktu, sejumlah pesaing muncul untuk menantang eksistensi B737 di
pasar pesawat berbadan kecil. Dalam hal ini, Airbus dengan keluarga A320 nya
menjadi penantang paling serius sekaligus paling besar. Keduanya terus bersaing
dan mendominasi pasar dengan cara meningkatkan teknologi dan pelayanan guna
menarik minat konsumen. Namun B737 masih tetap lebih unggul yang dibuktikan
dengan catatan 10.000 unit pesawat yang berhasil diserahkan ke konsumen pada
tahun 2018 (A320 mencapai catatan ini pada tahun 2020).
Dominasi B737 atas
A320 terus bertahan sampai setidaknya tahun 2010. Pada 1 Desember 2010, Airbus
mengumumkan generasi terbaru dari keluarga A320 nya yang disebut A320neo.
A320neo menawarkan sejumlah keunggulan seperti memiliki efisiensi konsumsi
bahan bakar 15% lebih baik dari generasi sebelumnya. Airbus juga mengklaim
tidak ada perubahan signifikan pada cara pengemudian pesawat sehingga maskapai
tidak perlu melakukan sertifikasi ulang pada pilotnya.
Sekedar informasi,
jika seorang pilot ingin mengoperasikan suatu pesawat dengan jenis tertentu,
maka pilot tersebut harus melakukan serangkaian pelatihan dan simulasi guna
memiliki sertifikat untuk dapat mengoperasikan jenis pesawat tersebut.
Sertifikat ini sangat spesifik dan hanya mengizinkan seorang pilot untuk
mengemudikan pesawat dengan jenis yang sesuai dan tidak mengizinkan pilot
tersebut mengemudikan pesawat jenis lainnya. Biaya pelatihan dan sertifikasi
ini biasanya ditanggung oleh maskapai dan tentunya tidak murah. 
Sebagai contoh,
maskapai Garuda Indonesia ingin menugaskan seorang pilot untuk mengoperasikan
pesawat A320neo. Garuda Indonesia perlu melakukan pelatihan dan sertifikasi
pada pilot tersebut guna memperoleh sertifikat A320. Jika pilot sudah
memperoleh sertifikat A320, maka pilot tersebut baru diperbolehkan
mengoperasikan A320neo, namun tidak boleh mengoperasikan pesawat jenis lain
seperti A330, A340, A380, atau lainnya. Namun pilot tersebut boleh
mengoperasikan pesawat dari keluarga A320 lainnya seperti A318, A319, dan A321.
Kembali ke topik
utama, pengumuman dari Airbus ini sontak menghebohkan dunia penerbangan
internasional. Selama ini bahan bakar menjadi salah 1 beban terbesar bagi
maskapai. Oleh karena itu, ketika Airbus mengumumkan proyek A320neo, maskapai
pun berbondong-bondong memesannya untuk menggantikan armada pesawat berbadan
kecil mereka yang sudah tua. Tercatat sebanyak 1196 unit pesawat A320neo
dipesan pada tahun 2011.
Grafik
pemesanan B737 MAX vs A320neo (Sumber: aviatiovoice.com)
Dalam wawancara di
kanal YouTube “60 Minutes Australia”, Jurnalis Seattle Times, Dominic Gates
mengatakan bahwa pada Juli 2011 Boeing mengetahui rencana American Airlines
untuk memborong 200 unit pesawat A320neo. Hal ini membuat kepanikan pada perusahaan
tersebut mengingat American Airlines selama ini adalah pelanggan setia mereka.
Pihak Boeing
kemudian berusaha mendekati American Airlines dan menegosiasi pesanan tersebut.
American Airlines kemudian bersedia memberikan setengah dari pesanannya kepada
Boeing dengan catatan Boeing harus dapat memproduksi pesawat B737 dengan mesin
baru yang lebih efisien. Meski saat itu belum memiliki B737 MAX, namun Boeing
langsung menyetujui persyaratan tersebut.
Tim riset dan pengembangan
Boeing pun menghadapi tekanan besar. Mereka dituntut untuk menghasilkan B737
generasi terbaru yang sesuai persyaratan American Airlines namun dengan
meminimalisir perubahan sekecil mungkin untuk menekan biaya dan dilakukan
secepat mungkin. 
Salah seorang
informan dari pihak internal Boeing menyatakan bahwa sebenarnya tim riset dan
pengembangan dapat benar-benar meng-upgrade B737 secara total. Namun pihak
Boeing menyatakan perubahan harus dibuat seminimal mungkin agar pilot tidak
memerlukan latihan tambahan. Penambahan latihan bagi pilot akan memakan waktu
dan biaya lebih untuk maskapai sehingga dapat mengurangi nilai jual B737
terbaru.
3.      Mesin Baru dan
MCAS
Membuat pesawat
baru dengan efisiensi bahan bakar lebih baik bukanlah suatu hal yang mudah. Salah
1 cara yang dapat dilakukan untuk mencapainya adalah mendesain ulang mesin yang
digunakan. Untuk dapat meningkatkan efisiensi bahan bakar, mesin perlu didesain
berukuran lebih besar agar dapat meningkatkan aliran udara (bypass ratio).
Boeing pun memilih mesin CFM LEAP atau yang biasa disebut LEAP yang juga digunakan pada A320neo.
Namun memasang
LEAP pada B737 menimbulkan suatu persoalan. Ukuran LEAP yang besar membuatnya
mustahil untuk dipasang di badan pesawat B737 yang pendek. Untuk mengatasi hal
ini, Boeing memutuskan untuk menempatkan mesin ini sedikit lebih maju dan naik
dari posisi sebelumnya sehingga bagian atas mesin menjadi berada sedikit lebih
tinggi dari pada posisi sayap.
Perbandingan
posisi dan ukuran mesin B737NG (kiri) dengan B737 MAX (kanan)
Gambar di atas menujukkan perbedaan ukuran dan posisi mesin antara B737NG (B737 generasi sebelum B737 MAX) dengan B737 MAX.
Pemindahan posisi
mesin ini ternyata juga menimbulkan persoalan karena merubah pusat gravitasi
pesawat. Ketika lepas landas, hidung pesawat akan menjadi lebih naik dari pada
seharusnya dan meningkatkan sudut kenaikan pesawat (Angle of Attack / AoA).
Meningkatnya AoA dapat menyebabkan pesawat mengalami stalling (kehilangan
daya angkat) dan jatuh. Tim riset dan pengembangan menyarankan untuk mendesain
ulang B737. Namun Boeing menolaknya karena hal itu akan memakan biaya dan waktu
yang besar di tengah tekanan dari A320neo.
Boeing pun
kemudian memutuskan untuk memasang suatu program baru yang disebut Maneuvering
Characteristics Augmentation System atau yang biasa disebut MCAS. MCAS akan
secara otomatis menurunkan hidung pesawat jika merasa hidung pesawat terlalu
tinggi sehingga mencegah terjadinya stalling. MCAS bekerja dengan
memanfaatkan sensor AoA yang dipasang di dekat hidung pesawat.
Mekanisme
kerja MCAS
Boeing pun
kemudian mengumumkan generasi terbaru dari keluarga B737 pada Agustus 2011 yang
diberi nama B737 MAX. Boeing mengklaim bahwa pesawat ini memiliki efisiensi
bahan bakar hingga 15%. Boeing juga mengklaim bahwa tidak banyak perubahan pada
B737 MAX sehingga pilot tidak perlu melakukan pelatihan dan sertifikasi ulang
dan hanya perlu menyimak materi yang dapat diakses menggunakan iPad. B737 MAX berhasil
mendapatkan sebanyak 951 pesanan pada 2012.
4.      Kecelakaan yang
Membuka Mata
Jatuhnya Lion Air
JT610 di perairan Karawang merupakan peristiwa yang menggemparkan dunia. Hal ini
bukan hanya dikarenakan jumlah korban maupun jenis pesawat yang digunakan. 12
hari pasca kejadian, untuk pertama kalinya Boeing memublikasikan adanya MCAS
pada B737 MAX. 
Publikasi ini
mengejutkan berbagai pihak, terutama para pilot yang sudah mengoperasikan
pesawat tersebut. Bagaimana tidak, Boeing tidak menyebutkan fitur MCAS pada
buku manual penerbangan ketika proses sertifikasi pesawat. Boeing juga tidak
menyebutkan fitur tersebut dalam pelatihan singkat untuk para pilot. 
Namun Boeing masih
menyangkal bahwa MCAS lah penyebab jatuhnya Lion Air JT 610. Mereka masih
menganggap pilot lah yang bertanggung jawab pada kecelakaan tersebut. Hingga akhirnya
kecelakaan Ethiopian Airlines ET302 terjadi. Publik pun semakin mencurigai ada
yang salah dengan seri B737 MAX.
Kecelakaan pesawat
yang berakibat fatal sejatinya merupakan sesuatu yang sangat jarang terjadi. Oleh
karena itu, ketika terdapat 2 kecelakaan fatal yang menggunakan pesawat jenis
yang sama pada waktu yang berdekatan, regulator penerbangan di seluruh dunia
langsung bereaksi. China menjadi negara pertama yang mengandangkan (grounding)
seluruh armada B737 MAX tepat sehari setelah kecelakaan ET302 terjadi. Langkah ini
kemudian diikuti oleh banyak negara di seluruh dunia hingga akhirnya FAA
memutuskan untuk mengandangkan seluruh armada B737 MAX di seluruh dunia pada 13
Maret 2019.
Investigasi pun
dimulai untuk mengetahui penyebab terjadinya kedua kecelakaan ini. Setelah serangkaian
investigasi dilakukan, akhirnya terkuak kesamaan antara terjadinya kedua
kecelakaan ini. Investigator menyatakan terjadinya kesalahan pada MCAS yang
menyebabkan pilot tidak dapat mengendalikan pesawat hingga akhirnya jatuh. Data
grafik ketinggian dan kecepatan pesawat menunjukkan pesawat berulang kali naik-turun
secara tidak teratur sebelum akhirnya jatuh.
Boeing menjadi
sorotan publik terkait kesalahan pada sistem MCAS tersebut. Investigasi lebih
lanjut menyatakan bahwa sistem MCAS hanya bergantung pada 1 sensor, yaitu
sensor AoA (Angle of Attack). Publik pun merasa heran dan geram,
bagaimana mungkin suatu sistem yang sangat penting seperti MCAS hanya mengandalkan
input dari 1 jenis sensor saja.
Salah seorang informan
dari internal Boeing menyatakan bahwa sebenarnya mereka sudah mengetahui hal
ini. Namun Boeing tetap melakukan hal ini karena mereka tahu bahwa FAA tidak
akan mensertifikasi pesawat jika terdapat tambahan 2 atau lebih sensor tanpa
memberikan pelatihan simulator pada pilot yang mana akan meningkatkan biaya bagi
maskapai. 
Investigasi lebih
lanjut juga mencurigai FAA atas dugaan penyuapan terkait sertifikasi pesawat
B737 MAX ini.
5.      Pelajaran
Berharga
Lion Air JT610 dan
Ethiopian Airlines ET302 kini sudah terlanjur jatuh. 338 nyawa sudah terlanjur
melayang dan tidak dapat lagi kembali. 1 hal yang dapat dilakukan sekarang
adalah belajar dari kejadian tersebut.
Persaingan memang
merupakan hal penting dalam dunia usaha untuk lebih memacu perusahaan tersebut
agar menjadi lebih baik. Namun bukan berarti mereka harus mengorbankan
segalanya demi ekonomi.
Boeing telah
bertaruh pada B737 MAX dan MCAS-nya demi mengejar A320neo milik Airbus. Aspek keselamatan
pun digadaikan demi meraih kesuksesan secara instan. Namun ternyata hal itu
malah memberikan bumerang bagi diri mereka sendiri dengan 2 kecelakaan fatal yang
terjadi dan masih dikandangkannya B737 MAX hingga saat ini.
Keselamatan memang
harus menjadi hal nomor 1, bukan hanya pada penerbangan, namun juga pada
seluruh bidang. Jika keselamatan orang banyak telah terjamin, maka ekonomi pun
akan meningkat mengikutinya.
Last but not least. Mari kita berdoa agar seluruh korban pada
penerbangan JT610 dan ET302 dapat diampuni dosa-dosanya dan diterima di sisi-Nya.
Dan bagi keluarga yang ditinggalkan, semoga diberi ketabahan dan kebahagiaan. Amin.
Okee sekian dulu pembahasan kali ini. Semoga
bermanfaat. Salam~










Sangat bermanfaat
ReplyDeleteKeren bgt bisa tau sejarah secata detail dr sini
ReplyDelete