Selasa,
5 Oktober 2020 menjadi hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Anggota DPR
telah mensahkan RUU Omnibus Law melalui sidang paripurna. Beragam reaksi
dan kecaman pun bermunculan. Suara-suara penolakan bergema di jagat media
sosial Indonesia.
            RUU Omnibus
Law memang mencakup berbagai macam sektor yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan, termasuk sektor penerbangan. RUU Omnibus Law akan
mengubah, menghapus, atau menetapkan peraturan baru yang diatur dalam UU No.
1/2009 tentang penerbangan. Apa saja pengaruhnya dalam dunia penerbangan? Mari kita
bahas.
1.      Tugas Besar Pemerintah Pusat
Pasal 130 RUU Omnibus
Law terkait UU Penerbangan
Sejumlah tugas
besar terkait penerbangan Indonesia tengah menanti Pemerintah Pusat seiring
dengan disahkannya RUU Omnibus Law. Tugas-tugas seperti sertifikasi kelaikan
udara (Pasal 40), pemberian lisensi personel pesawat udara (Pasal 60),
penentuan harga tiket (Pasal 130), kegiatan pengusahaan di bandara udara (Pasal
238), sertifikasi lembaga penyelenggara layanan navigasi penerbangan (Pasal
277), dan lain sebagainya yang semula menjadi tanggung jawab Menteri
Perhubungan kini menjadi tugas Pemerintah Pusat.
Terkait pengaturan
harga tiket oleh Pemerintah Pusat, pengamat penerbangan Arista Atmadjati turut
memberikan tanggapannya. Dilansir dari Liputan6.com (21/02/2020), Arista
menilai adanya Peraturan Pemerintah (PP) kemungkinan besar lebih kuat
kedudukannya dan lebih berkelanjutan daripada Permenhub. Namun pembentukan PP
yang memakan waktu dapat menjadi persoalan tersendiri.
2.     
Pengaruh
terhadap Maskapai Biaya Rendah
Pasal 99 UU No.1/2009
tentang Penerbangan
Pada draft RUU Omnibus
Law dituliskan bahwa ketentuan Pasal 99 dihapus. Sejatinya dalam UU No.
1/2009 tentang Penerbangan pasal ini mengatur tentang perizinan operasi maskapai
berbiaya rendah. Pasal ini juga mengatur perlu adanya evaluasi yang dilakukan
secara periodik bagi maskapai berbiaya rendah. Dengan dihapuskannya Pasal 99,
tentunya akan berpengaruh bagi maskapai berbiaya rendah.
Penghapusan
Pasal 99 dan isi Pasal 100 RUU Omnibus Law tentang Penerbangan
Untuk ketentuan
lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal akan
diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100.
3.     
Penghapusan
Persyaratan Izin Maskapai
Pasal 109 dan 110
UU No. 1/2009 tentang Penerbangan
Persyaratan mengenai
izin maskapai sejatinya telah diatur secara rinci dalam UU No. 1/2009 tentang
Penerbangan Pasal 109. Persyaratan tersebut antara lain memiliki akta pendirian
badan usaha, NPWP, surat keterangan domisili, dan lain sebagainya. Pasal 109
juga diperkuat dengan Pasal 110 yang membahas tentang rencana bisnis, rencana
pusat kegiatan operasi, dan sumber daya manusia.
Revisi Pasal 109 dan penghapusan Pasal 110 & 111 RUU Omnibus Law terkait UU Penerbangan
Namun persyaratan
ini sudah tidak disebutkan pada RUU Omnibus Law. Ketentuan pada Pasal
110 sudah dihapuskan dan Pasal 109 direvisi sehingga berbunyi “Kegiatan
angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dilakukan oleh badan
usaha di bidang angkutan udara niaga nasional setelah memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.”
Pasal 111 UU No. 1/2009 tentang Penerbangan
Selain itu Pasal
111 yang membahas mengenai syarat perseorangan menjadi direksi pada suatu
maskapai juga turut dihapuskan.
4.     
Hilangnya
Ketentuan Evaluasi Izin Maskapai
Pasal 112 RUU Omnibus Law terkait UU
Penerbangan
Pasal 112 RUU Omnibus
Law terkait UU Penerbangan berbunyi “Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 109 berlaku selama pemegang Perizinan Berusaha masih menjalankan
kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan
pesawat udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan.”
Pasal
112 UU No. 1/2009 tentang Penerbangan
Hal ini sedikit
berbeda dengan pasal yang sama pada UU No. 1/2009 tentang Penerbangan. Pada pasal
tersebut disebutkan adanya ketentuan untuk mengevaluasi izin maskapai setiap
tahun. Hasil evaluasi ini akan dijadikan bahan pertimbangan apakah maskapai
yang bersangkutan diperbolehkan melanjutkan usahanya atau tidak.
Adapun pada Pasal
114 disebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur
memperoleh Perizinan Berusaha terkait angkutan udara niaga diatur dengan
Peraturan Pemerintah.”
5.     
Batas
Minimal Kepemilikan Pesawat oleh Maskapai
Pasal 118 ayat (1)
huruf b RUU Omnibus Law terkait UU Penerbangan
Pasal 118 ayat (2)
huruf a UU No. 1/2009 tentang Penerbangan
Salah 1 hal
menarik dari RUU Omnibus Law terkait UU Penerbangan ialah dihilangkannya
batas minimal kepemilikan pesawat oleh maskapai. Sebelumnya, pada UU No. 1/2009
tentang Penerbangan Pasal 118 disebutkan bahwa maskapai harus memiliki paling
sedikit 5 unit pesawat udara. Namun pada RUU Omnibus Law pasal ini
direvisi sehingga maskapai hanya perlu memiliki dan menguasai pesawat udara
tanpa menyebutkan jumlah minimal yang diperlukan.
Dilansir dari Kompas.com
(21/02/2020), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa langkah
tersebut ditempuh pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha yang
tertarik berinvestasi di sektor penerbangan. Melalui pemangkasan batas minimal
ini Budi berharap muncul maskapai-maskapai baru di Indonesia sehingga
meningkatkan persaingan perusahaan.
Dilansir dari Liputan6.com
(18/02/2020) pengamat penerbangan Gatot Raharjo turut memberikan tanggapan
mengenai kebijakan ini. Menurut Gatot kebijakan ini akan mempermudah kegiatan
investasi di maskapai. Namun di sisi lain, syarat kepemilikan pesawat tersebut dibuat
agar maskapai memiliki modal yang kuat, sehingga saat bangkrut, kewajiban
utangnya dapat diambil dari pesawat tersebut. Jika kebijakan ini diterapkan,
maka pemerintah harus memastikan maskapai memiliki modal yang kuat untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pembahasan di atas
hanyalah sebagian kecil dari pengaruh RUU Omnibus Law. Dengan banyaknya
UU yang direvisi, dihapuskan, atau dibuat, Pemerintah Pusat kini memiliki
banyak tugas yang bukan hanya harus diselesaikan dengan tepat, namun juga cepat.
Khusus bagi dunia penerbangan, berbagai Peraturan Pemerintah yang disebutkan harus
segera dibuat agar tidak menimbulkan ambiguitas yang berlarut-larut di masa
pandemi dan krisis penerbangan seperti saat ini. 
Okee sekian dulu pembahasan kali ini. Semoga
bermanfaat. Salam~


Comments
Post a Comment